TENTANG BOLA BASKET
Hujan
turun deras diluar aula. Suara halilintar terdengar bergantian. Angin kencang
terasa lembab dan dingin. Namun, itu
tidak berpengaruh terhadap ke dua tim. Aula sekolah yang jadi tempat
pertandingan basket. Ramai sekali oleh teriakan penonton. Suara tepuk tangan
dan hentakan kaki terdengar di sekelilingku. Bahkan haykel yang biasanya diam
sampai ikut besorak tiada henti.
Aku
menatap sekitarku. Semua tempat yang ada di pinggir lapangan sesak oleh
penonton. Tidak ada satu tempat pun yang kosong. Semua di penuhi murid sekolah
kami dan sekolah lain. Menariknya, seruan penonton semakin kencang saat reza
menyentuk bola.
Reza?
Si pembolos itu. Dia menjadi pusat perhatian penonton di lapangan basket aula
sekolahku. Aku heran, tahun lalu dia tidak suka olahraga, tapi sekarang malah
ikut pertandingan basket dan diteriaki banyak penonton. Aku belum terbiasa
melihat reza yang lincah dalam mendribel bola. Dia sangat lincah melewati dua
lawan seperti pemain professional(penonton ramai), juga dua lawan berikutnya
lagi(teriakan semakin ramai),kemudian tanpa penjagaan, dengan semangat yang
tinggi reza melompat menembak ke keranjang. Gerakan tangannya begitu cepat,
bola menukik. Masuk! Telingaku seperti mau pecah saat teriakan penonton dan
fans reza ketika bola basket masuk ke dalam keranjang.
Aku
menghayal sejenak. Ini pertandingan yang sangat tidak masuk akal mungkin bisa
masuk keajaiban dunia nomor delapan. Entah bagaimana caranya si pembolos itu
tukang cari ribut, pakaiannya selalu tidak rapi, rambut berantakan, sering
diusir guru dari kelas gara – gara tidak mengerjakan PR, dia tidak punya teman
kecuali aku dan haykel, seminggu terakhir dia mendadak famous di sekolah. Semua
orang meneriakkan namanya. Reza, Reza, dan Reza!
Lihatlah
ditengah lapangan. Reza sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tersenyum
manis, membalas teriakan fansnya yang semakin gila termasuk haykel di
sebelahku. Aku menyikut lengan haykel. “Eh, kenapa din?” haykel menoleh. Aku
menahan kesal memperbaiki tatanan rambutku yang berantakan. Salah satu balon
tepuk yang di pegang haykel tidak sengaja mengenaiku. “Lihat – lihat dong,
nggak usah berlebihanlah!” aku emosi.
Haykel
tersenyum melihat ekspresi wajahku. “Maaf din”, ujarnya singkat, kemudian dia
melanjutkan memukul balon tepuk bersama yang lain.
Tim
basket sekolah kami semakin jauh meninggalkan lawan. Poin sementara 46-28
dengan reza yang lagi-lagi menjadi bintang lapangan. Akhir-akhir ini sekolahan
kami mengadakan pertandingan basket antar SMA seluruh kabupaten. Kompetisi ini
rutin diadakan setiap tahun. Hampir semua sekolah di kota kami berpartisipasi
mengirimkan tim. Hari ini sudah masuk semifinal dan final. Tim basket sekolah
kami salah satu diantara empat tim terbaik setelah lima tahun terakhir selalu
tersingkir di babak penyisihan. Lagi-lagi itu semua karena reza.
Dua
bulan yang lalu aku sempat mendengar kabar kalau reza masuk tim basket. “Tidak
mungkin!” aku mendesis tidak percaya. Kecuali kalau reza di suruh jadi tukang
pel lapangan, mencuci seragam tim, itu baru masuk akal.
“betulan lo, din” reza mengangkat bahu, tidak
peduli. Dia santai melanjutkan makan nasi goreng. Kami berdua sedang makan di
kantin sekolah. “Selamat, reza!” haykel ikut bahagia mendengar timku masuk ke
final. “Dia cuma berbohong, haykel” ujarku. Mudah sekali haykel percaya. “siapa
yang bohong?” Reza sedikit tersinggung.
“Memangnya
sejak kapan kamu bisa main basket?” Aku mendongkrak. “aku bisa bermain basket,
din…” Reza tidak terima. “Aku tidak percaya. Memasukkan bola ke keranjang aja
nggak bisa. Kecuali jika keranjangnya selebar meja kantin ini.” Aku tertawa.
Tapi
aku langsung kaget saat segerombolan murid kelas dua belas, anggota tim basket
sekolah yang sangat popular di sekolah, melewati meja kami. “ Hei, reza.”
Mereka semua kenal dia dan menepuk bahu reza. Reza bingung. Aku dan haykel juga
ikut bingung. Bertanya-tanya dalam hati. “kamu bisa ikut latihan sore ini
kawan?.” Ujar mereka. “Yeah” dengan semangat reza menjawab.
Aku
terheran-heran. Ini sungguhan? Haykel di sebelahku tersenyum lebar. “Wow, reza,
kamu berteman dengan murid kelas dua belas, anggota tim basket?.” Reza
mengangguk. “ Itu keren za!”
Baiklah,
aku dan haykel akhirnya memutuskan untuk melihat reza berlatih. Aku akhirnya
tau kenapa reza bisa bergabung dengan tim
basket. Lihatlah, sepuluh kali reza diminta melemparkan bola ke
keranjang dari jarak 6,75 meter, dari area tiga poin, sewaktu latihan shooting,
dia tidak gagal walaupun sekali. Juga saat mendribel bola, gerakannya sangat
lincah sekali, tidak ada yang bisa merebut bola darinya. Pemain professional
pun butuh latihan yang cukup lama untuk melakukannya. Tapi reza? Dia bisa
dengan mudah melakukan semua hal itu. Pasti ada sesuatu dibaliknya. Si pembolos
ini pasti berbuat curang.
Setelah
latihan aku bergegas menyeret reza kepojokan aula. “Kamu pasti menggunakan alat
rahasia, kan?” aku melotot. “alat apa?” reza menatapku bingung. “aku tidak
menggunakan apapun”. Haykel memgang lenganku, mencoba melerai tapi aku menepis
tangannya. Aku tidak peduli. Ini tidak mungkin, sejak dulu reza suka
mengutak-atik sesuatu, mebuat alat-alat aneh. Dia pasti menggunakan alat
tersebut agar bisa bermain basket dengan baik, menembak dengan mudah misalnya.
“Aku latihan keras, din!!! Hanya itu”. Dengan sebal reza mengulurkan tangannya.
“Kalau kamu nggak percaya, kamu periksa saja sendiri”.
“Pasti
kamu semunyikan di tempat lain. Di sepatu misalnya”. Aku kembali mengeluh
setelah sekian lama aku tidak menemukan apapun di tangan reza tidak ada gelang
atau cincin yang mungkin setelah di utak-atik hingga dia bisa menshooting bola
basket masuk keranjang.
“Astaga,
din…” haykel berbisik. “Kamu berlebihan”. Reza telah melepas sepatunya.”Periksa
saja sendiri!” dia emosi, melemparkan sepatunya. “Atau kamu mau aku juga
melepas celana dan seragamku?”. Tidak ada apa-apa di sepatu reza. Itu sepatu
biasa. Haykel sudah menarikku menjauh sebelum reza serius melepas seragamnya.
Kembali
ke aula sekolah. Tepuk tangan penonton sangat meriah di tambah dengan suara
drum yang membuat pertandingan tambah seru. Anggota tim basket sekolah kami
menggendong reza tinggi-tinggi di lapangan, berbangga hati karena sekolah kami
masuk final. Tak lama kemudian murid-murid perempuan berlarian menuju lapangan,
mengerubungi reza. Salah satu dari mereka membawa spidol, sambil berkata “reza,
minta tanda tanganmu dong…!”. Kemudian disusul murid-murid berikutnya sambil
berkata “rezaaaa…please…. Selfie bareng aku!”
“din?
Aku boleh Tanya nggak?” ujar haykel. “Tanya apa kel?” jawab dinra. “tapi kamu
harus janji nggak boleh marah” haykel menahan tawa. “apa sih kel? Siapa yang
marah?”. Tidak memedulikan komentarku, haykel terus mendesakku. “kalau kamu
marah-marah saat kubilang kamu naksir reza, itu justru membuktikan kalau kamu
memang suka dia. Benar, kan? Ayo, ngaku din. Reza memang terlihat keren dengan
seragam basketnya”. Kali ini aku tersenyum malu dan langsung meninggalkan aula
sekolah tanpa harus menonton pertandingan tersebut.
BIOGRAFI
NAMA : ALIF AULIA REZA
TTL : JOMBANG, 20 JANUARI 2001
HOBBY : OLAHRAGA
PEKERJAAN:
PELAJAR
ALAMAT : PERUMAHAN GURIT BLOK A/5 ROGOJAMPI, BANYUWANGI, JAWA TIMUR