Sabtu, 01 Oktober 2016

bola basket


TENTANG BOLA BASKET

Hujan turun deras diluar aula. Suara halilintar terdengar bergantian. Angin kencang terasa lembab dan dingin.  Namun, itu tidak berpengaruh terhadap ke dua tim. Aula sekolah yang jadi tempat pertandingan basket. Ramai sekali oleh teriakan penonton. Suara tepuk tangan dan hentakan kaki terdengar di sekelilingku. Bahkan haykel yang biasanya diam sampai ikut besorak tiada henti.
Aku menatap sekitarku. Semua tempat yang ada di pinggir lapangan sesak oleh penonton. Tidak ada satu tempat pun yang kosong. Semua di penuhi murid sekolah kami dan sekolah lain. Menariknya, seruan penonton semakin kencang saat reza menyentuk bola.
Reza? Si pembolos itu. Dia menjadi pusat perhatian penonton di lapangan basket aula sekolahku. Aku heran, tahun lalu dia tidak suka olahraga, tapi sekarang malah ikut pertandingan basket dan diteriaki banyak penonton. Aku belum terbiasa melihat reza yang lincah dalam mendribel bola. Dia sangat lincah melewati dua lawan seperti pemain professional(penonton ramai), juga dua lawan berikutnya lagi(teriakan semakin ramai),kemudian tanpa penjagaan, dengan semangat yang tinggi reza melompat menembak ke keranjang. Gerakan tangannya begitu cepat, bola menukik. Masuk! Telingaku seperti mau pecah saat teriakan penonton dan fans reza ketika bola basket masuk ke dalam keranjang.
Aku menghayal sejenak. Ini pertandingan yang sangat tidak masuk akal mungkin bisa masuk keajaiban dunia nomor delapan. Entah bagaimana caranya si pembolos itu tukang cari ribut, pakaiannya selalu tidak rapi, rambut berantakan, sering diusir guru dari kelas gara – gara tidak mengerjakan PR, dia tidak punya teman kecuali aku dan haykel, seminggu terakhir dia mendadak famous di sekolah. Semua orang meneriakkan namanya. Reza, Reza, dan Reza!
Lihatlah ditengah lapangan. Reza sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tersenyum manis, membalas teriakan fansnya yang semakin gila termasuk haykel di sebelahku. Aku menyikut lengan haykel. “Eh, kenapa din?” haykel menoleh. Aku menahan kesal memperbaiki tatanan rambutku yang berantakan. Salah satu balon tepuk yang di pegang haykel tidak sengaja mengenaiku. “Lihat – lihat dong, nggak usah berlebihanlah!” aku emosi.
Haykel tersenyum melihat ekspresi wajahku. “Maaf din”, ujarnya singkat, kemudian dia melanjutkan memukul balon tepuk bersama yang lain.
Tim basket sekolah kami semakin jauh meninggalkan lawan. Poin sementara 46-28 dengan reza yang lagi-lagi menjadi bintang lapangan. Akhir-akhir ini sekolahan kami mengadakan pertandingan basket antar SMA seluruh kabupaten. Kompetisi ini rutin diadakan setiap tahun. Hampir semua sekolah di kota kami berpartisipasi mengirimkan tim. Hari ini sudah masuk semifinal dan final. Tim basket sekolah kami salah satu diantara empat tim terbaik setelah lima tahun terakhir selalu tersingkir di babak penyisihan. Lagi-lagi itu semua karena reza.
Dua bulan yang lalu aku sempat mendengar kabar kalau reza masuk tim basket. “Tidak mungkin!” aku mendesis tidak percaya. Kecuali kalau reza di suruh jadi tukang pel lapangan, mencuci seragam tim, itu baru masuk akal.
 “betulan lo, din” reza mengangkat bahu, tidak peduli. Dia santai melanjutkan makan nasi goreng. Kami berdua sedang makan di kantin sekolah. “Selamat, reza!” haykel ikut bahagia mendengar timku masuk ke final. “Dia cuma berbohong, haykel” ujarku. Mudah sekali haykel percaya. “siapa yang bohong?” Reza sedikit tersinggung.
“Memangnya sejak kapan kamu bisa main basket?” Aku mendongkrak. “aku bisa bermain basket, din…” Reza tidak terima. “Aku tidak percaya. Memasukkan bola ke keranjang aja nggak bisa. Kecuali jika keranjangnya selebar meja kantin ini.” Aku tertawa.
Tapi aku langsung kaget saat segerombolan murid kelas dua belas, anggota tim basket sekolah yang sangat popular di sekolah, melewati meja kami. “ Hei, reza.” Mereka semua kenal dia dan menepuk bahu reza. Reza bingung. Aku dan haykel juga ikut bingung. Bertanya-tanya dalam hati. “kamu bisa ikut latihan sore ini kawan?.” Ujar mereka. “Yeah” dengan semangat reza menjawab.
Aku terheran-heran. Ini sungguhan? Haykel di sebelahku tersenyum lebar. “Wow, reza, kamu berteman dengan murid kelas dua belas, anggota tim basket?.” Reza mengangguk. “ Itu keren za!”
Baiklah, aku dan haykel akhirnya memutuskan untuk melihat reza berlatih. Aku akhirnya tau kenapa reza bisa bergabung dengan tim  basket. Lihatlah, sepuluh kali reza diminta melemparkan bola ke keranjang dari jarak 6,75 meter, dari area tiga poin, sewaktu latihan shooting, dia tidak gagal walaupun sekali. Juga saat mendribel bola, gerakannya sangat lincah sekali, tidak ada yang bisa merebut bola darinya. Pemain professional pun butuh latihan yang cukup lama untuk melakukannya. Tapi reza? Dia bisa dengan mudah melakukan semua hal itu. Pasti ada sesuatu dibaliknya. Si pembolos ini pasti berbuat curang.
Setelah latihan aku bergegas menyeret reza kepojokan aula. “Kamu pasti menggunakan alat rahasia, kan?” aku melotot. “alat apa?” reza menatapku bingung. “aku tidak menggunakan apapun”. Haykel memgang lenganku, mencoba melerai tapi aku menepis tangannya. Aku tidak peduli. Ini tidak mungkin, sejak dulu reza suka mengutak-atik sesuatu, mebuat alat-alat aneh. Dia pasti menggunakan alat tersebut agar bisa bermain basket dengan baik, menembak dengan mudah misalnya. “Aku latihan keras, din!!! Hanya itu”. Dengan sebal reza mengulurkan tangannya. “Kalau kamu nggak percaya, kamu periksa saja sendiri”.
“Pasti kamu semunyikan di tempat lain. Di sepatu misalnya”. Aku kembali mengeluh setelah sekian lama aku tidak menemukan apapun di tangan reza tidak ada gelang atau cincin yang mungkin setelah di utak-atik hingga dia bisa menshooting bola basket masuk keranjang.
“Astaga, din…” haykel berbisik. “Kamu berlebihan”. Reza telah melepas sepatunya.”Periksa saja sendiri!” dia emosi, melemparkan sepatunya. “Atau kamu mau aku juga melepas celana dan seragamku?”. Tidak ada apa-apa di sepatu reza. Itu sepatu biasa. Haykel sudah menarikku menjauh sebelum reza serius melepas seragamnya.
Kembali ke aula sekolah. Tepuk tangan penonton sangat meriah di tambah dengan suara drum yang membuat pertandingan tambah seru. Anggota tim basket sekolah kami menggendong reza tinggi-tinggi di lapangan, berbangga hati karena sekolah kami masuk final. Tak lama kemudian murid-murid perempuan berlarian menuju lapangan, mengerubungi reza. Salah satu dari mereka membawa spidol, sambil berkata “reza, minta tanda tanganmu dong…!”. Kemudian disusul murid-murid berikutnya sambil berkata “rezaaaa…please…. Selfie bareng aku!”
“din? Aku boleh Tanya nggak?” ujar haykel. “Tanya apa kel?” jawab dinra. “tapi kamu harus janji nggak boleh marah” haykel menahan tawa. “apa sih kel? Siapa yang marah?”. Tidak memedulikan komentarku, haykel terus mendesakku. “kalau kamu marah-marah saat kubilang kamu naksir reza, itu justru membuktikan kalau kamu memang suka dia. Benar, kan? Ayo, ngaku din. Reza memang terlihat keren dengan seragam basketnya”. Kali ini aku tersenyum malu dan langsung meninggalkan aula sekolah tanpa harus menonton pertandingan tersebut.









BIOGRAFI

NAMA      : ALIF AULIA REZA
TTL         : JOMBANG, 20 JANUARI 2001
HOBBY      : OLAHRAGA
PEKERJAAN: PELAJAR

ALAMAT    : PERUMAHAN GURIT BLOK A/5 ROGOJAMPI,        BANYUWANGI, JAWA TIMUR